kickstand-project.org – Informasi yang tersebar di media sosial baru-baru ini mengenai vaksin COVID-19 jenis mRNA, seperti Pfizer dan Moderna, menyebutkan bahwa vaksin tersebut dapat menyebabkan efek samping jangka panjang yang serius, termasuk komplikasi seperti penggumpalan darah dan kanker. Namun, pakar epidemiologi Dicky Budiman telah membantah klaim tersebut, menegaskan bahwa informasi itu adalah hoaks.
Penjelasan Pakar tentang Vaksin mRNA:
Dicky menjelaskan bahwa vaksin mRNA telah melewati uji klinis yang ketat dalam beberapa fase dan melibatkan ribuan peserta untuk memeriksa keamanan serta efektivitasnya. Vaksin ini juga terus diawasi secara berkelanjutan setelah mendapatkan persetujuan, dengan jutaan orang telah menerima vaksin tersebut.
Frekuensi dan Jenis Efek Samping:
Menurut Dicky, data terkait efek samping serius dari vaksin mRNA masih sangat jarang. Beberapa efek samping yang lebih umum meliputi nyeri di lokasi suntikan, demam, dan kelelahan. “Klaim tentang kerusakan jangka panjang tidak didukung oleh bukti ilmiah. Komponen vaksin mRNA, termasuk mRNA itu sendiri, cepat dipecah dan dihilangkan dari tubuh dalam beberapa hari setelah vaksinasi, sehingga tidak menetap di dalam tubuh,” jelas Dicky.
Bantahan terhadap Klaim Mutasi Genetik:
Dicky juga membantah tudingan bahwa mRNA dapat berintegrasi dengan DNA manusia dan menyebabkan mutasi genetik. Menurutnya, mRNA dari vaksin tidak memasuki inti sel tempat DNA berada. Lebih lanjut, beliau menambahkan bahwa risiko penyakit autoimun setelah vaksinasi sangat rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan dengan risiko komplikasi serius akibat infeksi COVID-19.
Komentar dari Komnas KIPI:
Senada dengan Dicky, Ketua Komnas KIPI (Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi), Prof Hinky Hindra Irawan Satari, mengatakan bahwa kabar yang beredar menyesatkan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Beliau menekankan bahwa vaksin COVID-19 yang diberikan pada masyarakat telah melalui serangkaian pemeriksaan bahkan setelah diberikan melalui Post-Marketing Surveillance (PMS).
Hasil Post-Marketing Surveillance:
Prof Hinky menegaskan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun sejak vaksin diberikan, PMS tidak menemukan data yang menunjukkan adanya kematian masif akibat vaksin. “Kalau ada kematian secara masif (akibat vaksin) pasti sudah ada datanya di Post-Marketing Surveillance. Sampai saat ini, belum ada laporan di jurnal atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang kematian masif karena vaksin mRNA, tidak ada satupun laporannya. Di Indonesia, juga tidak ada laporan seperti itu,” jelas Prof Hinky.
Ringkasan ini menunjukkan pentingnya mengkritisi informasi yang beredar dan mengandalkan data serta sumber yang kredibel dalam memahami isu kesehatan publik seperti vaksinasi.